Friendship, is something complicated....

Beberapa menit yang lalu salah seorang temanku baru saja pulang dari tempatku. Dia nangis, karena masalah teater kelas kami.


Flashback sebulan yang lalu, kelas Expression Oral (speaking) kami didaulat akan mengadakan teater sebagai ujian akhir. Donc, kami semua menggarap sebuah teater yang bercerita tentang kisah cinta kaisar paling berjaya di Prancis : Louis XIV.

Nah, ceritanya dimulai dari dilaksanakannya latihan teater tersebut. Temanku itu –sebut saja si A, didaulat untuk menjadi sutradara teater kami. Kelas kami sangat bersemangat pada awalnya, untuk menjadikan teater ini sukses di ujian akhir nanti. Walaupun begitu, aku –yang memang sudah dari sana-nya pemalas, tidak terlalu berminat. Bagiku teater ini sekedar sesuatu yang harus aku jalani untuk bisa mendapatkan nilai ujian akhir yang baik. Jujur saja, kalau disuruh berangkat latihan sih aku berangkat, tapi dalam hati aku cuma menjalani hal ini sebagai sesuatu hal yang tidak terlalu menarik buatku. Mungkin, sih, menurut prediksiku, sebagian teman-teman juga berpikiran sama denganku. Hanya saja, si A sangat menggebu-gebu.
Nah, sekarang aku mau bercerita tentang si A ini. Kami berteman cukup lama, dan aku cukup mengenalnya. Kami kenal selama lebih dari lima tahun. Dia teman yang baik, menurutku, juga pintar. Terus terang, terkadang aku iri pada prestasinya. Walaupun begitu aku sadar bahwa dia selalu berusaha melakukan yang terbaik, dan juga berusaha keras untuk selalu menghargai orang lain. Meskipun begitu terkadang aku merasa kalau penghargaannya agak berlebihan. Misalnya saja menurutku kadang dia terlalu menganggap tinggi diriku, padahal aku ini orang yang biasa-biasa saja, sehingga aku merasa risih. Dia kan lebih pintar dariku. Dia akan selalu berkata “terima kasih atas kerja samanya hari ini” padaku ketika kami berada dalam satu kelompok tugas.  
Terkadang aku merasa “tenggelam” ketika kami bekerja dalam suatu kelompok. Pasalnya, dia terlalu pintar sehingga aku jadi tak tampak (aku tidak bilang bahwa aku bodoh, aku cukup bisa mengikutinya kok). Pernah suatu kali kami mengikuti lomba presentasi dalam bahasa Perancis, dan kami berdua meraih juara kedua. Aku senang akan hal itu, dan ucapan “terima kasih atas kerja samanya hari ini”nya serta “kamu tadi bagus” membuatku merasa dihargai. Masalahnya muncul beberapa hari kemudian, kedia dosen tata bahasa kami –yang juga juri di lomba presentasi tersebut- tiba-tiba membahas soal presentasi itu (dosenku memang suka mengalihkan pembicaraan seenaknya, dan karena saat itu kami sedang membahas tentang makanan jadi nyambung ke presentasi) dan bertanya “dimana si A?”. A mengacungkan tangan, kemudian dosenku langsung berkata, “itu, lho, mbak B yang kemarin ke Prancis bla bla bla….” dan menerangkan panjang lebar, seolah temanku harapan dan tunas baru yang diprediksi akan ke Prancis selanjutnya (tiap tahun ada lomba yang berhadiah mengikuti kelas musim panas di Prancis, dan kebetulan universitasku selalu memberangkatkan satu orang). Bukannya apa-apa, tapi saat itu aku langsung merasa ‘deg’, begitu….. Maksudnya, seolah-olah dia hanya melihat si A dalam presentasi tersebut, dan aku tidak ada. Entah mungkin ini hanya perasaanku saja atau apa, tapi caranya membicarakan temanku benar-benar membuatku tidak enak. Hal ini karena setelah dia membahas presentasi yang mengesankan bahwa presentasi kami hebat, dan kemudian membicarakan A yang seolah-olah presentator tunggal. Aku sampai membatin, ‘aku juga ikut dan ada di presentasi tersebut, lho. Anda tidak melihatnya atau bagaimana ?’.
Begitulah. Akan tetapi sebetulnya kami teman yang baik. Walaupun mungkin kami bersaing di kelas, namun kami masih sering bersama. Dan tidak hanya kami, tapi ada empat orang teman lain yang bisa dibilang se-genk dengan kami. Hanya saja dua orang ada di kelas lain, dan hanya empat orang yang satu kelas (aku, si A, dan dua temanku yang lain).
Namun jujur saja, pada tahun ketigaku menjadi mahasiswa, rasanya semua orang telah berubah. Aku mengerti jika setiap orang akan berkembang menuju jalan mereka sendiri-sendiri sesuai dengan prinsip dan apa yang mereka percayai. Hanya saja…. Ini agak menyakitkan untukku. Aku tidak pernah menunjukkannya pada yang lain, tapi sebetulnya rasa sakit itu ada ketika kami terpecah-belah.
Pada awal tahun ketigaku, si A memutuskan untuk pindah kost. Awalnya dia satu kost denganku, tapi karena tidak cocok dengan ibu kost kami dan juga ingin perubahan suasana, ia memutuskan untuk pindah. Inilah awal masalah teater tadi. Semenjak pindah, si A agak menjauh dari kami. Bukan apa-apa, dia bilang rasanya lebih nyaman jika kami tidak terlalu dekat, dan itu memungkinkannya untuk berteman dengan siapa saja. teman dekatku yang lain, sebut saja si B, agak sensitive dengan hal ini. Dia merasa, yah, mungkin ‘terbuang’ atau ‘tersingkirkan’? Bagaimana menjelaskannya, ya….. Intinya dia merasa tidak enak pada keputusan si A yang seperti itu. Sebenarnya dia (aku juga) tidak akan melarang si A untuk berteman dengan semua orang, hanya saja dia merasa agak sakit hati dengan perilaku si A yang seolah-olah membuangnya. Mulai dari saat itu dia jadi agak sensi pada si A. Dan hal ini terbawa ke teater juga. Sementara temanku si C, dia memang agak menjauh karena dia orang yang sibuk….
Mungkin bukan hanya aku dan si B yang merasa, tapi teman-teman lain yang bukan teman dekatku pun merasa bahwa si A telah berubah. Sekarang dia –bagaimana mengatakannya ya, mungkin lebih ingin mendapat nilai. Semua yang dilakukannya di kelas semata-mata untuk mendapatkan nilai. Maksudku, dulu dia tidak begitu. Mungkin dia juga belajar dengan rajin agar mendapat nilai bagus, tapi tidak se-ekstrim ini. Dan ini membuat kami agak sensi….
Kemudian kembali soal teater, awalnya memang kami semangat. Tapi lama-lama semakin sedikit yang berangkat latihan, hingga hari ini tidak ada separuh yang berangkat. Aku sudah tahu jika si A kerap menangis di kost-nya (aku punya sumber terpercaya soal ini, hehe), tapi tadi dia menangis di tetangga kost-ku (dulu kami satu kost, ingat?). Hari ini aku memang tidak berangkat latihan, dan ketika dia datang dengan segera dia bertanya, “Kamu ngapain, sih? Kenapa ga berangkat? Kamu tuh sama sekali nggak punya komiten.” Terus terang saja, ini bukan soal komitmen atau apa. Sedari awal aku memang tidak terlalu tertarik dengan masalah teater ini, dan semakin lama dengan latihan yang itu-itu saja tanpa kemajuan, sekaligus tema teater kami yang datar tanpa humor, latihan yang selalu kurang focus karena kebanyakan candaan, jumlah orang yang hadir yang makin berkurang…. semuanya membuatku bosan. Membuat lelah. Membuat malas. Jadi ya aku tidak berangkat. Karena aku butuh jeda. Aku butuh sesuatu untuk refreshing di luar hal membosankan yang kulakukan rutin selama tiga kali seminggu.
Tapi tadi dia datang. Menangis. Aku tahu, aku juga salah. Kami semua salah. Dan dia bertanya, “salahku apa ?” Aku tidak bisa menjawab. Aku juga tidak tahu. Aku tahu kok, dia sudah bekerja keras. Dia orang yang seperti itu. Dia merasa bahwa sebagai sutradara, dia menanggung semua beban. Dia merasa bertanggung jawab atas teater kami, memikirkan seorang diri, takut akan apa yang bakal terjadi jika latihan kami begini terus. Aku mengerti. Tapi aku tidak bisa bilang apa-apa. Satu-satunya jalan keluar adalah, membicarakannya dengan semua orang. Bertanya alasan apa yang membuat mereka mulai malas berangkat latihan. Yah, aku membicarakan ini dengannya, tapi ketika aku sms si B, ternyata si A memang menyatakan ingin bicara serius dengan kami semua besok. Well, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Menunggu besok mungkin adalah hal yang terbaik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kata tanya

Tom Felton : His blue-sky eyes and his mesmerizing smile....

film sad ending??